Daán yahya/Republika

Perang ini dinamakan demikian karena terjadi pada 10-28 Ramadhan 1393 Hijriyah.

Oleh: Hasanul Rizqa

Sejak 1948, penjajahan Israel atas Palestina terus berlangsung hingga saat ini. Walaupun berbagai kecaman, sanksi, dan protes melanda, entitas Zionis itu tetap melakukan kolonialisme pemukim (settler colonialism) atas Bumi al-Quds. Perangainya acap kali didukung negara-negara adidaya, utamanya Amerika Serikat (AS) dan Britania Raya.

 

Penindasan demikian terjadi bukan tanpa perlawanan. Sejarah mencatat, berkali-kali pertempuran pecah antara koalisi Arab di satu sisi dan Zionis di sisi lain. Bahkan, hanya beberapa jam usai deklarasi pembentukan Israel pada 14 Mei 1948 perang pun mencuat antara kedua kubu tersebut.

 

Perang Arab-Israel I berlangsung selama hampir 10 bulan, yakni sejak 15 Mei 1948 hingga 10 Maret 1949. Aliansi Arab terdiri atas Mesir, Yordania, Suriah, Irak, Lebanon, dan Arab Saudi. Ada sekitar 45 ribu tentara yang dikerahkan oleh negara-negara Arab tersebut pada waktu itu. Mereka bergerak untuk merebut kembali wilayah yang telah dicaplok Zionis.

 

Sejarah mengenang hari pertama palagan itu sebagai Hari Katastrofe (Yawn an-Nakbah). Sekitar 750 ribu rakyat Palestina ketika itu terusir dari rumah-rumah mereka. Para pengungsi dan diaspora Palestina yang kita jumpai hari ini merupakan keturunan dari orang-orang Arab tersebut.

 

Perang Arab-Israel I berakhir dengan kekalahan pada pihak negara-negara Arab. Jumlah tentara Arab yang gugur mencapai tujuh ribu orang. Konflik tersebut juga menewaskan 13 ribu warga Palestina.

 

Sementara, di pihak Israel sendiri awalnya hanya diperkuat oleh 30 ribu prajurit. Namun, sejak Maret 1949 jumlahnya meningkat menjadi 117 ribu tentara. Demikian ungkap Yoav Gelber dalam buku Palestine 1948: War, Escape and the Emergence of the Palestinian Refugee Problem.

 

Konflik antara Arab dan Israel kembali meletus ketika Mesir melakukan nasionalisasi terhadap Terusan Suez pada 1956. Kebijakan yang digawangi oleh presiden Mesir saat itu, Gamal Abdul Nasser, mendorong Israel untuk menginvasi Semenanjung Sinai. Rangkaian peristiwa akibat agitasi ini dikenal pula sebagai “Krisis Suez.”

 

Tak lama berselang, pasukan Inggris dan Prancis juga mendarat di Pelabuhan Suez. Keikutsertaan dua negara Eropa itu dalam konflik tersebut seolah-olah untuk memisahkan pihak yang bertikai. Padahal, motivasi mereka sebenarnya adalah melindungi kepentingan investor Barat yang terkena dampak nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir.

 

Perang Arab-Israel II berakhir dengan kesepakatan damai. Mesir setuju untuk membayar jutaan dolar kepada Suez Canal Company—selaku pemegang otoritas Terusan Suez sebelum dinasionalisasi oleh Nasser. Pasukan Inggris dan Prancis pun ditarik mundur dari Negeri Piramida. Kemudian, hingga 1957 Israel mengokupasi Sinai.

DOK  WIKIPEDIA

Pada dekade berikutnya, hubungan Israel dengan negara-negara tetangga Arab tidak pernah sepenuhnya normal. Menjelang Juni 1967, ketegangan antara Mesir dan Israel kembali meningkat. Mesir memobilisasi pasukannya di sepanjang perbatasan Israel di Semenanjung Sinai.

 

Pada 5 Juni 1967, Israel secara tiba-tiba memulai serangan pertama yang menarget pangkalan angkatan udara Mesir. Yordania, yang sudah menandatangani pakta kerja sama militer dengan Mesir pada Mei 1967, lalu melancarkan serangan balasan. Namun, pasukan kerajaan Islam ini dapat dipukul mundur Israel.

 

Militer Zionis juga menunjukkan keunggulan pada armada udara. Kapal-kapal tempurnya menghujani wilayah Arab dengan bom napalm. Tentara Yordania yang kalah jumlah dan persenjataan terpaksa mundur teratur untuk menjaga Tepi Timur agar tidak jatuh ke tangan musuh. Pada 11 Juni 1967, gencatan senjata diumumkan. Berakhirlah pertempuran yang akhirnya dikenang sebagai Perang Enam Hari itu.

 

Sebagai pemenang, Israel dapat menduduki Dataran Tinggi Golan dari Suriah, Tepi Barat dan Yerusalem Timur dari Yordania, serta sebagian besar Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dari Mesir. Momen tersebut pun menandakan suatu keterpurukan bangsa Arab. Sejak saat itu, alih-alih spirit nasionalisme Pan-Arab, perjuangan untuk memerdekakan Palestina didorong oleh nasionalisme bangsa Palestina sendiri.

 

Perang Ramadhan

 

Pada tahun 1973, ketegangan kembali terjadi antara Mesir dan Israel. Kedua belah pihak pun terlibat dalam konflik yang disebut sebagai Perang Yom Kippur. Dinamakan demikian, sebab permulaan terjadinya bertepatan dengan hari raya Yahudi, Yom Kippur. Di lain pihak, negara-negara Arab mengistilahkannya Perang Ramadhan karena palagan ini berlangsung selama bulan puasa, tepatnya 10-28 Ramadhan 1393 Hijriyah.

 

Perang Ramadhan didahului oleh serangan yang dilakukan aliansi Mesir dan Suriah. Kedua negara Arab ini berupaya merebut kembali wilayah mereka masing-masing yang hilang akibat kekalahan dalam Perang Enam Hari pada 1967 silam. Kairo menarget Sinai dan sisi timur Terusan Suez. Adapun Damaskus hendak mengambil kembali Dataran Golan dari tangan Tel Aviv.

 

Perang yang berlangsung selama 19 hari ini juga diwarnai konteks Perang Dingin, yakni antara AS dan Uni Soviet. Masing-masing berusaha membantu sekutu-sekutu mereka. Washington DC tentunya mendukung Israel, sedangkan Moskow menyokong aliansi Arab dengan persenjataan militer.

 

Sebenarnya, tujuan utama Kairo bukanlah mengenyahkan Israel dari bumi al-Quds. Presiden Mesir ketika itu, Anwar Sadat, dalam pidatonya menyampaikan bahwa pihaknya berupaya “mengembalikan seluruh wilayah Arab yang telah direbut Israel dalam perang tahun 1967 lalu” dan “mencapai penyelesaian yang damai dan adil untuk Arab-Israel.” Secara implisit, Mesir berharap bisa membuat Israel mengakui kekuatannya dan kemudian memaksa terjadinya perundingan.

Akhir dari Perang Ramadhan lalu membuka babak-babak baru bagi negosiasi yang berupaya meredakan Arab-Israel.

Selama hari-hari pertama Perang Ramadhan, tentara Mesir dan Suriah berhasil mencetak kemenangan dengan relatif cepat. Hal ini terutama disebabkan, Israel tidak menduga akan datangnya serangan dari aliansi negara-negara Arab itu. Terlebih lagi, baik Kairo maupun Damaskus telah menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi meskipun mereka menyadari betul, Tel Aviv memiliki sokongan (backing) yakni AS.

 

Sebelum Perang Ramadhan, Israel sering mengolok-olok tentara Arab yang kebanyakan menderita fobia atau ketakutan terhadap tank. Mereka berlarian dari posnya jika mendengar atau melihat tank-tank musuh menuju ke posisi mereka. Namun, dengan senjata-senjata anti-tank "Sagger" yang akurat dan cukup dipanggul oleh seorang tentara, Mesir tiba-tiba saja menjadi kampiunnya perang tank. Senjata tersebut menghancurkan 800 sampai 1.200 tank Israel.

 

Kemudian, bantuan dari AS pun turun untuk Israel. Perlahan namun pasti, keadaan pun berbalik sehingga Mesir dan Suriah kian kesulitan. Kedua negara Arab ini lalu dibantuk Uni Soviet sehingga untuk sesaat dapat bertahan. Bagaimanapun, pada akhirnya militer Zionis yang dibantu Negeri Paman Sam terus unggul.

 

Sementara itu, dunia internasional mengkhawatirkan bahwa konflik terbuka itu dapat menjadi awal terjadinya Perang Dunia III, termasuk adu nuklir antara AS dan Soviet. PBB pun berusaha keras untuk segera menyudahi perang tersebut.

 

Pada 22 Oktober 1973, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi Nomor 338. Dengan itu, terbukalah jalan untuk mengakhiri Perang Ramadhan alias Perang Yom Kippur. Dokumen tersebut mendorong disepakatinya gencatan senjata, yang lalu diberlakukan dalam 12 jam sejak tanggal tersebut.

 

Demikianlah, pertempuran yang menyedot banyak biaya—baik pada kubu Mesir-Suriah maupun Israel—akhirnya berhenti. Bisa dikatakan, tidak ada pemenang dari palagan ini. Masing-masing pihak, bagaimanapun, mengeklaim kemenangan. Israel, misalnya, menyebut Yom Kippur sebagai sebuah pencapaian militer sesudah kegemilangan dalam Perang Enam Hari. Adapun Kairo dan Damaskus menyatakan pihaknya telah menang secara politik. Masing-masing kembali memperoleh Semenanjung Sinai dan sebagian Dataran Tinggi Golan.

 

Akhir dari Perang Ramadhan lalu membuka babak-babak baru bagi negosiasi yang berupaya meredakan Arab-Israel. Diawali saat Presiden Mesir Anwar Sadat berpidato di depan Knesset atau parlemen Israel (1977), dilanjutkan Perjanjian Camp David setahun kemudian (1978).

 

Perjanjian damai Mesir-Israel yang ditandatangani Presiden Sadat dan Perdana Menteri (PM) Israel Manachem Begin ini disaksikan Presiden AS Jimmy Carter sebagai fasilitator. Dari perjanjian ini, Sinai dikembalikan ke pangkuan Mesir.

DOK  WIKIPEDIA

Taktik Embargo untuk Bela Palestina

Sejak terbentuk pada 1948, Israel tidak hanya menindas bangsa Palestina, tetapi juga berulang kali memprovokasi umat Islam. Yang paling menyakitkan adalah, entitas Zionis itu selalu memandang sebelah mata kesucian Masjid al-Aqsha, Baitul Makdis. Padahal, kompleks tempat ibadah itu merupakan salah satu tanah suci dalam kepercayaan Muslimin.

 

Ada aksi, maka timbul reaksi. Kadang kala, respons atas kesewenang-wenangan Israel melahirkan solidaritas di tengah umat Islam meskipun tidak selamanya langgeng. Ambil contoh, lahirnya Organisasi Konferensi Islam (OKI) atau Organisasi Kerja Sama Islam.

 

OKI lahir dari peristiwa dibakarnya Masjid al-Aqsha oleh sekelompok Zionis pada akhir tahun 1960-an. Tepatnya pada 21 Agustus 1969, sekelompok militan Yahudi membakar masjid yang menjadi kiblat pertama umat Islam itu. Kontan saja, kecaman dan kemarahan menyeruak dari Muslimin di pelbagai penjuru dunia.

 

Bukan hanya masyarakat umum, kalangan pemimpin politik pun turun tangan. Dari Maroko, Raja Hasan mengutuk perbuatan nista Zionis itu. Di Arab Saudi, Raja Faisal bin Abdul Aziz menyerukan seluruh kaum Muslimin, khususnya dari negara-negara Arab, agar bersatu dan menuntut pertanggungjawaban Israel.

 

Perlahan namun pasti, muncullah gagasan konsolidasi umat Islam sedunia untuk membebaskan Baitul Makdis dari cengkeraman Zionis. Seruan itu disambut para menteri luar negeri negara-negara anggota Liga Arab, yang segera mengadakan pertemuan darurat pada 22-26 Agustus 1969. Hasilnya adalah keputusan untuk mengadakan konferensi tingkat tinggi (KTT) negara-negara Islam di Rabat, Maroko, 22-25 September 1969.

 

Pada sesi penutupan, sebanyak 26 negara Islam yang hadir, termasuk Indonesia, sepakat untuk mendeklarasikan berdirinya OKI. Mereka tidak hanya menyuarakan kecaman keras atas pembakaran Masjid al-Aqsha oleh Zionis, melainkan juga menuntut dikembalikannya status Baitul Makdis sebagaimana kondisi sebelum Perang Enam Hari 1967. Di samping itu, Israel dituntut pula untuk menarik mundur pasukan dari seluruh wilayah Arab yang didudukinya.

 

Dalam perjalanan sejarahnya, OKI pernah sangat ditakuti oleh musuh-musuh Islam atau pihak Barat. Salah satu momentum historisnya ialah ketika negara-negara OKI, yang merupakan penghasil utama minyak dunia, mematuhi ajakan Raja Faisal bin Abdul Aziz untuk melakukan embargo. Jadilah mereka tidak lagi menyalurkan (baca: menjual) “emas hitam” itu ke negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat (AS). Sebab, kubu Barat yang dipunggawai oleh Negeri Paman Sam itu telah membantu Israel dalam Perang Ramadhan alias Perang Yom Kippur pada 1973.

Embargo minyak telah memaksa Israel—atas desakan AS—untuk menarik pasukannya dari medan perang.

Sang pemberani

 

Kebijakan mengembargo minyak ke AS sesungguhnya dimotori oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Pemimpin yang visioner itu dengan berani menentang hegemoni Barat yang acap kali merugikan kaum Muslimin. Termasuk dalam hal dukungan mereka terhadap Israel.

 

Raja Faisal adalah penguasa yang sukses membawa negerinya dari fase stagnansi menuju modernisasi. Terutama sejak ditemukannya ladang-ladang minyak di luar Hijaz, Arab Saudi mengalami kemajuan yang pesat. Pemasukan dari sektor migas melonjak luar biasa.

 

Menurut Yon Machmudi dalam buku Timur Tengah Dalam Sorotan: Dinamika Timur Tengah Dalam Perspektif Indonesia (2020), pemerintahan Raja Faisal menginisiasi pembangunan banyak infrastruktur vital nasional setempat. Semua itu dilakukannya dengan perencanaan yang terpusat. Alhasil, dalam lima tahun pertama kepemimpinannya Arab Saudi mengalami kemajuan, terutama pada aspek pertahanan, pendidikan, dan sosial.

 

Raja Faisal pun meneguhkan reputasinya di dunia internasional. Ia pernah mendapatkan gelar “man of the year” dari Majalah Time, sebuah media massa terkenal asal New York, AS. Bukan hanya OKI, kepeloporannya pun tampak jelas dalam pendirian Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) pada September 1960. Tujuan pembentukan OPEC ialah menjaga stabilitas harga guna melindungi kepentingan produsen. Sebab, sebelumnya perdagangan minyak dunia acap kali dipandang lebih menguntungkan pihak konsumen.

DOK  WIKIPEDIA

Raja ini naik takhta sejak 2 November 1964 atau setelah turunnya Saud bin Abdul Aziz al-Saud akibat sakit.  Di dunia Arab, perannya ketika itu diakui sebagai pemimpin regional yang sangat menonjol. Ia selalu terdepan dalam membela hak-hak dan ikhtiar kemerdekaan Palestina dari agresi Israel. Inisiasinya agar negara-negara Arab mengembargo penjualan minyak bumi ke AS adalah salah satu buktinya.

 

Embargo itu membuat harga minyak dunia naik hingga 75 persen atau 300 persen. Timbul pula efek jangka pendek dan panjang pada politik dan ekonomi global. Khususnya bagi AS, pukulan berat dirasakan Negeri Paman Sam akibat kebijakan negara-negara Arab anti-Israel itu.

 

Sejumlah negara Eropa dan Jepang pun menarik jarak dari Washington DC. Mereka lalu menyatakan simpati pada Palestina atau mendesak dilakukannya perundingan damai antara Arab-Israel. Kalau saja presiden AS saat itu, Richard Nixon, tetap netral terhadap konflik Arab-Israel, agaknya embargo minyak tidak sampai menjadi opsi yang diambil Raja Faisal dan negara-negara Arab.

DOK NEEDPIX

Inilah yang dipandang sebagai “senjata ekonomi” yang dikirimkan Saudi saat itu untuk mendukung perjuangan Palestina. Riyadh memang tidak ambil bagian dengan mengirimkan pasukan tempurnya ke medan Perang Ramadhan. Namun, secara finansial Saudi menyampaikan bantuan logistik pada negara-negara Arab yang terlibat perang tersebut, termasuk Mesir dan Suriah.

 

Embargo minyak telah memaksa Israel—atas desakan AS—untuk menarik pasukannya dari medan perang dan juga sebagian wilayah Arab yang diduduki. Sayangnya, wibawa OKI ini tidak berlanjut. Apalagi setelah para tokoh pendirinya banyak yang meninggal dunia, khususnya Raja Faisal. Ini terbukti, pada perkembangan selanjutnya, gertakan OKI tidak pernah diindahkan oleh Israel. Ini bisa dimaklumi karena tidak ada tindakan konkret yang dilakukan OKI.

 

Mengenai Raja Faisal, beberapa tahun sesudah Perang Ramadhan usai, ia mengakhiri kepemimpinan secara tragis. Sang raja dibunuh oleh keponakannya sendiri, pangeran Faisal bin Musaid. Meskipun tampaknya yang terjadi ialah kemelut dalam lingkungan istana, banyak pihak menduga adanya konspirasi Barat yang ingin melenyapkan sang penguasa Arab yang gagah-berani itu.

 

Sejak terbunuhnya Faisal, menurut Machmudi, dinamika politik Arab Saudi menjadi semakin waspada pada keberlangsungan kekuasaannya. Ancaman terhadap politik dinasti dipandang tidak hanya berasal dari internal keluarga, tetapi juga eksternal, yakni gerakan-gerakan yang menginginkan keterbukaan politik. Oleh karena itu, Riyadh secara umum selalu menaruh curiga terhadap perubahan-perubahan politik yang terjadi di dunia Arab.

top

Palestina-Israel dan Konteks ‘Perang Ramadhan’